|

Marketing In Crisis (1) by Rhenald Kasali

Sumber : Harian Sindo

GEJALA krisis, meski sayup sayup, mulai tampak di negeri ini.Selain aspek-aspek fundamental, indikator yang paling jelas adalah penurunan konsumsi listrik.

Pada Desember 2008, misalnya, pemakaian listrik di Pulau Jawa telah merosot 12,5% dari konsumsi bulan-bulan sebelumnya. Penurunan konsumsi energi menunjukkan utilitas produksi sektor manufaktur telah turun, terutama di kalangan produsen yang berorientasi ekspor dan penghasil barang-barang yang konsumsinya dapat ditunda seperti barang elektronik, sepatu, fesyen, furnitur, dan automotif.

Karena menyerang konsumsi, jelas marketing di masa krisis berbeda dengan marketing di saat tumbuh. Pada saat krisis, akan ditemui konsumen yang pesimistis, enggan melakukan pengeluaran, menunda pembayaran, mengurangi pemakaian kredit, gelisah, dan banyak mengeluh. Sebaliknya di masa ekonomi sedang tumbuh, Anda melihat konsumen ceria dan optimistis, berani mengambil kredit, dan cenderung melakukan spending. Karena itulah marketing in crisis perlu diterapkan saat ini.


Terapi Produsen

Berbeda dengan para ekonom makro yang selalu mendengungkan hilangnya daya beli, cara berpikir mikroekonomi lebih diarahkan pada keinginan membeli (willingness to spend). Kata krisis yang didengungkan terus-menerus dapat mengakibatkan konsumen kehilangan keinginan atau ill feel (bahasa gaul anak muda).

Keinginan membeli adalah suasana permintaan yang jauh lebih berbahaya bagi perekonomian ketimbang pasar kehilangan daya beli. Kehilangan daya beli dapat diperbaiki dengan stimulus perekonomian, sesuatu yang disuntikkan pemerintah melalui APBN, pinjaman, paket-paket perekonomian, kebijakan fiskal,dan sebagainya.

Tetapi kehilangan gairah berbelanja tak mungkin disembuhkan dengan hal-hal seperti itu. Oleh karena itu, marilah kita melihat lebih objektif krisis keuangan global kali ini. Menurut saya, yang tengah terjadi saat ini bukanlah kehilangan daya beli kita. Kita bisa lihat indeks keyakinan konsumen (consumer confidence index) masih cukup tinggi.

Sebaliknya indeks tren bisnis atau producer confidence index menunjukkan tanda-tanda menurun. Ini berarti persoalan ada di kepala para eksekutif,bukan di kepala konsumen. Dalam hal ini, jelas dibutuhkan marketing therapy, yaitu suatu proses pemulihan kepercayaan di kepala produsen, eksekutif pemasaran, dan keuangan, agar tidak bekerja dengan prinsip quasi crisis,yaitu seolah-olah krisis, sehingga mengakibatkan suplai berkurang sebelum pasar benar-benar mengurangi konsumsinya. Akibatnya akan terjadi kelangkaan dan pasar domestik akan hancur diserbu produsen asing yang kelebihan suplai karena gagal menembus pasar Eropa dan Amerika Serikat.

Downshifting

Hukum marketing in crisis yang pertama adalah downshifting. Hukum ini menandaskan agar di masa krisis, produsen membidik setingkat lebih tinggi daripada segmen yang biasa dibidik. Untuk jelasnya mari kita perhatikan lebih dulu faktafakta berikut.Rumah makan di daerah segitiga emas (kawasan perkantoran) mengalami penurunan pelanggan sebanyak 30%.

Tetapi beberapa rumah makan di daerah Jakarta Kota mengalami kenaikan pengunjung sebanyak 30%. Retailer Matahari mengakui beberapa gerai tokonya mengalami kenaikan penjualan, sementara geraigerai fesyen di kawasan malmal mewah mengalami penurunan. Seorang konsumen yang berniat membeli sedan mewah mengaku membatalkan rencananya, tetapi kini beralih ke mobil keluarga (SUV).

Di bulan Desember kemarin, hotel-hotel di Bali tidak kosong, melainkan kebanjiran pengunjung. Sebagian wisatawan yang berlibur di Bali mengatakan,mereka mengubah rencana liburan dari Eropa ke Bali karena selisih mata uang yang semakin lebar. Fakta-fakta itu menunjukkan konsumen tidak kehilangan daya beli, tetapi mengalami proses ill feel dalam berbelanja luxuries (barang-barang/jasa-jasa mahal).

Mereka mengalami proses yang saya sebut sebagai downshifting,yaitu beralih ke pasar dengan kualitas atau segmen setingkat di bawahnya. Fakta-fakta dan pendekatan ini dapat dilihat dalam buku baru saya, Marketing in Crisis yang baru beredar dua minggu yang lalu. Dari fakta-fakta itulah kita harus sedikit lebih waspada karena konsumen tidak tinggal diam, melainkan berpindah segmen.

Dalam perpindahan itu tidak hanya terjadi penghilangan pasar, melainkan juga terjadi permunculan pasar-pasar baru (pandangan optimisme). Sebaliknya, tidak hanya terjadi pemunculan pasar-pasar baru, melainkan juga terjadi penciutan dan menghilangnya konsumen (pandangan pesimisme).

Jadi diperlukan kewaspadaan sekaligus kejelian mengungkap peluang-peluang baru dengan teknik-teknik baru yang didasari oleh terapi pemasaran (marketing therapy). Salah satu caranya adalah dengan membidik setingkat di atas segmen yang lama dengan biaya yang lebih terjangkau. Untuk itu diperlukan hukum kedua, yaitu downcosting dan positive marketing. Downcosting adalah sebuah metode dengan pendekatan pada aspek biaya sedemikian rupa agar perusahaan memiliki keleluasaan dalam mengepung pasar.

Mereka yang pernah belajar di sekolah bisnis tentu familier dengan konsep learning curve atau experience curve. Karena memproduksi berulang-ulang,pada produk yang uniform dan standar, kita bisa memperoleh tingkat kesalahan yang rendah. Kita juga berpotensi mendapatkan alternatif bahan baku sehingga cost-stucture menjadi lebih rendah.

Teh Botol Sosro belum lama ini meluncurkan teh botol baru dalam kemasan plastik less sugar.Ini jelas sebuah contoh praktik downcosting yang mengakibatkan perusahaan dapat memiliki keunggulan untuk melakukan manuvermanuver pemasaran di masa krisis.Tentu saya masih ingin mengajak Anda melihat krisis dari perspektif lain, yaitu perspektif opportunity. Saya akan lanjutkan pada kolom ini pekan depan.
Anda dapat membaca lanjutannya di Marketing in Crisis (2)

Posted by Unknown on 4:45 PM. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response