|

Kesiapan Berubah

Perubahan adalah kata yang paling tidak disukai oleh mereka yang tidak siap menghadapinya. Tidak salah jika dikatakan bahwa mengelola perubahan adalah mengelola orang-orang yang terlibat di dalamnya. Jika tidak dikelola dengan baik, ketidaksiapan ini berpotensi pada munculnya resistensi. Kita ketahui bersama, resistensi terhadap program perubahan akan menghambat laju perubahan yang sedang dijalankan, bahkan lebih parah lagi dapat menggagalkan perubahan itu sendiri.

Kegagalan perubahan dapat terjadi di setiap rentang waktu proses perubahan. Kegagalan secara dini mengakibatkan suatu perubahan menjadi prematur, sedangkan kegagalan di tahap akhir menjadikan hasil perubahan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kegagalan dalam tahap apa pun tetaplah kegagalan yang tidak dikehendaki oleh siapa pun.

Dengan demikian, sebelum perubahan itu sendiri dijalankan, mendesak untuk diketahui bagaimana sebenarnya kesiapan internal suatu organisasi terhadap perubahan. Mengetahui kesiapan sejak awal akan memudahkan persiapan dalam implementasi perubahan. Bagian yang belum siap dapat diperbaiki sehingga menjadi lebih siap lagi. Setidaknya, mengetahui tingkat kesiapan terhadap perubahan mengurangi resiko perubahan itu sendiri dibandingkan dengan memaksakan perubahan secara hantam kromo. Dalam hal ini, kesiapan terhadap perubahan dapat diukur melalui pendekatan terhadap persepsi anggota organisasi yang terlibat dalam perubahan, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Persepsi yang meliputi perlunya perubahan, kesiapan emotif, kapabilitas menghadapi perubahan dan kemauan mereka untuk berubah.

Kesiapan terhadap perubahan dapat saja dipengaruhi oleh rekam jejak dari perubahan yang sebelumnya pernah dijalani. Hasil dari proses perubahan sebelumnya, entah itu positif ataupun negatif, mempengaruhi pembentukan mindset terhadap perubahan. Kalau ada faktor historis yang berpengaruh tentu ada faktor futuristik yang tidak kalah berpengaruhnya, yaitu visi yang menentukan orientasi dan tujuan bersama. Tarik ulur antara kedua orientasi ini ditentukan oleh bagaimana komunikasi dibangun. Komunikasi yang baik dapat memenuhi kebutuhan emosional anggota organisasi di masa transisi sehingga secara emotif mereka menerima perubahan. Penerimaan secara baik menimbulkan komitmen, tidak hanya untuk menjadikan perubahan terjadi tetapi juga untuk mensukseskannya.

Pengalaman penulis dalam konsultasi aplikasi change management di lapangan menunjukkan beberapa manajemen yang berasumsi bahwa resistensi terhadap perubahan berpangkal pada tiadanya kemauan untuk berubah atau rendahnya motivasi. Sepintas pun sudah kentara, asumsi ini cenderung mengkambinghitamkan anggota organisasi. Berdasar pengalaman, organisasi yang berpegang pada prinsip “manajemen selalu benar” secara organisatoris cenderung tidak siap berubah. Demikian juga dengan organisasi yang anggota-anggotanya tidak mempercayai manajemennya. Padahal asumsi tadi tidak jarang hanyalah reaksi atau akibat yang tampak dari akumulasi ‘aksi sistemik’ yang tidak menopang secara baik. Jika ditilik dengan seksama dan fair akan terlihat secara nyata bahwa kemauan untuk berubah terkait dengan arahan (direction) yang diberikan, motivasi yang dipompakan, dan peluang (opportunity) yang ditawarkan.

Arahan mencerminkan ekspektasi dan penentuan skala prioritas secara jelas dan tidak berbias. Komunikasi yang tepat dan transparan sangat dibutuhkan untuk ‘menjual’ perubahan. Rencana perubahan itu sendiri juga harus sejalan dengan rencana lain dalam organisasi, dan tidak menyimpang terlalu jauh dari budaya organisasi yang dimiliki. Kebersamaan akan memuluskan suksesnya suatu perubahan. Kurangnya kualitas arahan dapat berujung pada ambiguitas dan pada skala yang lebih parah bahkan menimbulkan kekacauan (chaos). Arahan yang baik hanya akan terpakai jika anggota organisasi termotivasi sehingga tidak mengalami kelesuan. Motivasi menjadi faktor kritis keberhasilan suatu program perubahan. Meskipun demikian, motivasi akan mengendur dan menguap begitu saja jika tidak mendapatkan dukungan semestinya. Bahkan, yang bersangkutan dapat menjadi frustasi karenanya. Dengan demikian dibutuhkan dukungan yang meciptakan peluang. Peluang ini terkait dengan dukungan manajemen berupa sumber daya yang memadai seperti kewenangan, waktu, informasi, SDM berikut pengembangannya, bahan, sampai dana.

Selain kemauan, kesiapan terhadap perubahan juga ditentukan oleh tingkat kemampuan dan kompetensi anggota organisasi. Rendahnya tingkatan kedua faktor ini akan berakibat pada rendahnya kualitas yang ujung-ujungnya dapat menggagalkan proses perubahan. Bagaimana pun, perubahan melibatkan metode, material, mesin (teknologi), dan lingkungan yang baru dan tidak jarang benar-benar berbeda secara signifikan dengan periode sebelum terjadinya perubahan. Dengan demikian, perubahan ini menuntut kecakapan dan kompetensi baru yang tidak jarang lebih tinggi tingkat kesulitannya. Kesukesan perubahan ditentukan oleh kualitas dari pembelajaran dan perbaikan berkelanjutan.

Pendek kata, kesiapan berubah (change readiness) berfokus terhadap dua hal, yaitu kompetensi yang mendukung perubahan dan komitmen untuk berubah. Begitu kesiapan anggota organisasi dalam melakukan perubahan teridentifikasi, dapat diklarifikasi konsekuensi-konsekuensinya.

Oleh : AB Susanto

Posted by Unknown on 4:27 PM. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response