Penulis pernah mempunyai pengalaman yang cukup memprihatinkan tentang pemahaman umum masyarakat terkait proses pelaksanaan roya atas tanah jaminan yang telah diserahkan kepada Bank sebagai jaminan atas suatu fasilitas kredit yang telah diterima oleh debitur untuk tujuan penurunan outstanding pinjaman.
A. PENDAHULUAN
Secara umum, baik pihak Bank selaku kreditur maupun debitur pasti menginginkan fasilitas kredit yang telah disalurkan / dikucurkan berdasarkan prinsip kepercayaan dapat diselesaikan dengan baik tanpa terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak. Sehingga pelunasan kredit melalui first way out tentu merupakan cara yang paling ideal. Namun demikian adakalanya suatu fasilitas kredit yang pada awalnya diharapkan dapat berjalan dengan lancar hingga lunas, pada akhirnya mengalami kendala / kegagalan / macet sebelum tiba saat jatuh tempo pelunasannya.
Mengantisipasi timbulnya kerugian lebih lanjut sebagai akibat terjadinya kegagalan pengembalian fasilitas kredit oleh debitur, Bank pada akhirnya mengambil kebijakan yang diperlukan dalam rangka melakukan recovery kredit, salah satunya adalah dengan melakukan penjualan barang jaminan untuk menurunkan outstanding pinjaman debitur NPL (Non Performing Loan).
Pada saat barang jaminan sudah laku terjual dan setelah itu dilakukan peroyaan serta hasil penjualannya telah digunakan untuk menurunkan outstanding pinjaman debitur, maka mulailah timbul pemahaman yang keliru dari pihak debitur, terutama debitur perorangan. Pihak debitur menolak untuk menyelesaikan sisa pinjaman yang masih ada, dengan anggapan bahwa roya yang dilaksanakan oleh Bank dalam rangka penjualan jaminan berarti dianggap kredit telah lunas. Anggapan tersebut didasarkan pada analogi bahwa tidak mungkin bank melakukan roya Hak Tanggungan terhadap tanah yang menjadi barang jaminan kredit kecuali kalau kredit sudah dapat dipastikan lunas melalui penjualan jaminan.
Peristiwa ini sungguh terjadi walaupun tidak terlalu sering timbul dalam pelaksanaan penyelesaian kredit NPL, namun cukup membuat Penulis merasa prihatin dengan kondisi pemahaman umum masyarakat terhadap masalah peroyaan.
B. Roya dan Hapusnya Hak Tanggungan
Pengertian Roya secara umum adalah pencoretan Hak Tanggungan yang melekat pada buku tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan, karena hapusnya Hak Tanggungan yang membebani atas tanah. Permohonan Roya diajukan kepada instansi yang berwenang yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Hapusnya Hak Tanggungan terjadi karena peristiwa-peristiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah (selanjutnya cukup disebut UUHT), yaitu sbb :
§ Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
§ Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
§ Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
§ Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Prosedur pelaksanaan Roya sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (4) UU HT tentang Hak Tanggungan adalah sebagai berikut :
“Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertipikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas atau karena kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.”
Pengertian Pasal 22 ayat (4) sudah jelas dan tidak memerlukan interpretasi lagi, yaitu bahwa permohonan pencoretan (Roya) yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan :
§ diberi catatan atau pernyataan tertulis oleh kreditur dengan menyebutkan keterangan pinjaman tersebut LUNAS ; atau
§ pernyataan tertulis dari kreditur (Bank) bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena lunas atau kreditur (Bank) melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, perlu ditegaskan oleh Penulis bahwa berdasarkan Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (4) di atas, pertimbangan kreditur untuk melepaskan Hak Tanggungan tidak semata-mata karena terjadinya pelunasan pinjaman, namun dapat juga terjadi karena pelunasan sebagian untuk tujuan penurunan outstanding pinjaman debitur, sebagaimana disebutkan dalam pasal-pasal tersebut di atas dengan kata-kata ”dilepaskan/melepaskan Hak Tanggungan”. Pelepasan Hak Tanggungan untuk tujuan yang disebutkan terakhir dalam praktek di dunia perbankan sudah menjadi suatu kelaziman.
Disamping itu, dalam peraturan hukum yang berlaku di negara kita mengatur bahwa peristiwa pelunasan kredit, yang merupakan salah satu sebab hapusnya suatu perjanjian kredit, tidak boleh dipersangkakan, namun harus dibuktikan oleh sepucuk surat/catatan dari kreditur (Bank) bahwa kredit yang diterima debitur telah lunas vide Pasal 1438 dan 1439 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
C. Perjanjian Pokok dan Perjanjian Ikutan (accessoir)
Penjelasan hubungan antara peroyaan Hak Tanggungan dan pelunasan pinjaman, juga dapat dijelaskan melalui hubungan antara perjanjian pokok dan perjanjian ikutan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pelaksanaan perjanjian pengikatan Hak Tanggungan atas tanah sebagai jaminan atas fasilitas kredit adalah merupakan perjanjian ikutan dari Perjanjian Kredit sebagai perjanjian pokoknya. Perjanjian pengikatan Hak Tanggungan dilaksanakan setelah Perjanjian Kredit ditandatangani oleh kreditur (Bank) dan debitur. Jadi perjanjian pengikatan Hak Tanggungan tidak dapat berdiri sendiri apabila tidak dilandasi oleh adanya perjanjian pokok, yaitu Perjanjian Kredit.
Berdasarkan prinsip hukum yang berlaku menyatakan bahwa suatu perjanjian ikutan lahir dari perjanjian pokok, sehingga dengan hapusnya perjanjian pokok maka hapus pula perjanjian ikutan. Namun sebaliknya, hapusnya perjanjian ikutan tidak serta merta menyebabkan hapusnya perjanjian pokok. Perjanjian pokok masih ada (eksisting) sepanjang memang masih berlaku dan tidak terpengaruh dengan hapusnya perjanjian ikutan.
Apabila prinsip hukum tersebut diterapkan dalam kaitan hubungan antara Perjanjian Kredit dengan keberadaan Hak Tanggungan, maka perjanjian pengikatan Hak Tanggungan lahir dari adanya Perjanjian Kredit. Sehingga apabila oleh suatu sebab Perjanjian Kredit hapus (misalnya karena terjadinya pelunasan) maka hapus pula perjanjian pengikatan Hak Tanggungan. Namun tidak berlaku sebaliknya. Jika perjanjian pengikatan Hak Tanggungan hapus tidak berarti Perjanjian Kredit yang melahirkan perjanjian pengikatan Hak Tanggungan menjadi hapus.
D. KESIMPULAN
I. Apabila Bank hendak menerbitkan surat Roya Hak Tanggungan atas tanah yang menjadi barang jaminan kredit, baik karena terjadinya pelunasan maupun kebijakan penjualan untuk menurunkan outstanding pinjaman, disarankan agar mencantumkan dengan tegas alasan peroyaan, yaitu apakah karena pelunasan atau karena tidak diperlukan lagi sebagai barang jaminan. Untuk alasan yang terakhir, apabila diperlukan, Bank dapat pula mencantumkan penegasan kembali dalam surat Roya bahwa Perjanjian Kredit yang menjadi perjanjian pokok belum berakhir.
II. Apabila Debitur telah mendapat konfirmasi dan mengetahui dari Kreditur / Bank bahwa penjualan barang jaminan mampu menyelesaikan seluruh kewajiban kreditnya hingga lunas, maka ingatkan Kreditur / Bank untuk menerbitkan Surat Pernyataan Lunas atau mencantumkan dalam surat Roya Hak Tanggungan bahwa kredit yang dijamin oleh barang jaminan tersebut telah lunas.